Powered By
widgetmate.com
Sponsored By
Digital Camera

Rabu, 20 Agustus 2008

Neoliberalisme vs Neososialisme

TIDAK mudah mendefinisikan neoliberalisme. Bila disederhanakan, doktrin ini memperjuangkan fundamentalisme pasar, yaitu pandangan yang menekankan bahwa mekanisme pasar akan berjalan dengan baik apabila ia bebas bergerak tanpa kendali dan intervensi pemerintah.

Friedrich von Hayek, penerima Nobel Ekonomi 1974, yang bersama gurunya, Ludwig von Mises, selama ini dipandang sebagai "Bapak Neoliberalisme", memang sangat dikenal sebagai penganjur utama deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi.

Dalam buku yang sangat terkenal, The Road to Serfdom (1944), Hayek mengkritik keras upaya intervensi besar-besaran yang dilakukan Presiden Roosevelt melalui program New Deal sebagai reformasi yang menempatkan Amerika Serikat "On slippery slope that would lead both to economic ruin and a totalitarian regime".

Akhir-akhir ini doktrin neoliberalisme dikaitkan dengan "Jerat Washington (Washington Consensus)", yang pada intinya juga memberi anjuran sama, yaitu liberalisasi pasar,kebijakan fiskal ketat sebagai bentuk pengurangan intervensi pemerintah, dan privatisasi.

John Williamson, pencetus istilah Washington Consensus di tahun 1989, menolak pengaitan atau penyamaan ini karena baginya istilah tersebut tidak bersifat ideologis atau diturunkan dari filsafat neoliberalisme. Bagi Hayek dan teman-teman,pasar merupakan institusi yang paling pas untuk menyalurkan hakikat dan preferensi manusia sebagai "homo economicus".

Di pasar, ambisi dan energi pribadi yang didorong pementingan diri sendiri akan dikonversi menjadi keseimbangan kolektif yang dinamis.Hanya di pasar,kebebasan untuk memilih terbuka dan dijamin. Tidak berlebihan jika Milton Friedman, pemenang Nobel Ekonomi 1976 dan murid Hayek, memberi judul bukunya yang terkenal dengan Free to Choose (1980).

Individu yang bertindak dengan bebas akan membuat keputusan yang benar apa yang diinginkannya. Dalam banyak hal, cara kerja pasar memang menakjubkan. Peranan pasar dalam kehidupan ekonomi modern mirip seperti peranan matahari dalam sistem planet.

Persoalan-persoalan pokok ekonomi seperti apa yang harus diproduksi dalam jumlah berapa, bagaimana memproduksinya, dan bagaimana distribusinya, dapat dipecahkan melalui mekanisme harga, yang memainkan tiga peranan, yaitu menyediakan informasi, memberi dorongan pelaku ekonomi untuk bertindak, dan menentukan siapa mendapat apa dalam jumlah berapa.

Lepas dari keunggulan dan kekuatan yang dimilikinya, mekanisme pasar memiliki sejumlah kelemahan. Salah satu kelemahan pokok yang melekat padanya adalah ketidakmampuan menciptakan pemerataan pendapatan. Pasar secara teoritis hanya memeratakan kesempatan, sisi input, bukan pendapatan atau sisi output.

Sekali pasar digunakan untuk memeratakan pendapatan, ia tidak bisa menjalankan fungsi lain dengan baik. Pada titik ini muncul kritik atau koreksi dari para pendukung sosialisme.Para pendukung sosialisme menilai,di samping benih-benih demokratis yang dibawanya, sistem pasar juga mengandung benih-benih destruktif.

Bila kecenderungan polarisasi pendapatan terus berlangsung, pasar akan melahirkan proses pemiskinan parah, yang pada akhirnya akan berujung pada revolusi sosial.Itu sebabnya intervensi pemerintah mutlak dibutuhkan untuk mengoreksi kelemahan pasar.

Kekuatan regulatif pemerintah dan modal sosial masyarakat berperan sebagai kekuatan pengimbang (counter-vailing forces), meminjam istilah John Kenneth Galbraith, dari mekanisme pasar. Para penganut neoliberalisme merasa sedih menyaksikan intervensi pemerintah yang memperoleh momentum legitimasi sejak depresi ekonomi pada 1930-an.

Agenda kebijakan ekonomi sejak pertengahan 1930-an sampai 1960-an memang sarat intervensi aktif pemerintah.Pada periode ini pandangan John Maynard Keynes (Keynesian economics) memang sangat dominan. Tetapi Hayek gembira menyaksikan ramalannya tepat, tentang runtuhnya Uni Soviet.

Hayek juga bangga karena menjadi inspirator dari kebijakan ekonomi pada masa Margaret Thatcher dan Ronald Reagan. Akhir-akhir ini di Amerika Latin kita menyaksikan gelombang besar pemimpin yang mengusung doktrin neososialisme.

Para pemimpin ini secara terbuka menyampaikan kritik tajam terhadap cara kerja kapitalisme global yang tidak adil dan cenderung menempatkan negaranegara berkembang dalam posisi terpinggirkan, bahkan terjajah.

Dalam pandangan mereka, kapitalisme global telah bermetamorfosis menjadi kekuatan kolonial dan imperialis global. Mengutip ramalan Lenin,imperialisme merupakan tahap lanjutan dari kapitalisme. Agenda neososialisme antara lain nasionalisasi perusahaan- perusahaan strategis, reformasi kepemilikan tanah dan aset,peran aktif negara untuk memberi jaminan sosial secara maksimal, serta sejenisnya.

Mereka ingin mengoreksi pandangan neoliberal yang antisubsidi dan antiintervensi negara, tetapi yang begitu mesra dengan kepentingan pemodal besar dan korporasi global.Mereka ingin membuktikan bahwa ekonomi pasar sosial yang teranyam (embedded) dalam sistem sosial budaya masyarakat dapat ditegakkan.

Sesungguhnya kritik kaum sosialis telah lama memberi inspirasi koreksi pada sistem kapitalisme. Citacita etis sosialisme selama ini tampak tertampung dalam model negara kesejahteraan (welfare state) dan negara sosial (social state).

Bahkan kaum buruh, yang semula diduga sebagai kelompok masyarakat yang paling dirugikan dari proses akumulasi kepemilikan pribadi, sekarang telah menjadi kelompok penekan yang sangat kuat, dan melalui dana pensiun besar yang dikuasainya telah ikut menjadi pemegang saham korporasi.

Itu yang membuat Peter Drucker (1980) menyebut masyarakat industri modern sebagai "the employee society" dan menyebut "buruh telah berubah menjadi kapitalis". Sosialisme bukan tanpa masalah. Dua penyakit utama sistem ekonomi sosialisme adalah kecenderungannya untuk tidak efisien dan menjadi otoriter.

Seperti yang ditulis Alan Greenspan (2007), para pemimpin Amerika Latin yang mengusung neososialisme (populisme ekonomi) seperti membayangkan dunia yang sederhana, seperti mengerjakan tata buku satu lajur, yaitu hanya mencatat keunggulannya tanpa memperhitungkan kerugiannya.

Pemimpin di sana cenderung karismatik, memiliki aura ambil alih, bahkan kompetensi otoriter. Adakah perkembangan teknologi modern telah mampu mengatasi dua penyakit besar sosialisme? Bila jawabannya "ya", neososialisme akan memiliki daya jual yang semakin tinggi.

Saya jadi teringat salah satu pidato Bung Karno,bahwa revolusi Indonesia adalah revolusi menuju sosialisme. Jauh sebelum gelombang besar neososialisme menggoyang Amerika Latin.

* Guru Besar FE UKSW, Salatiga;
�Alumnus Tinbergen Institute,Belanda.

Source : http://economy.okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar